Minggu, 27 Desember 2009

Menonton Sang Pemimpi: 90.000 yang (Tampak) Sia-Sia


Jauh sebelum dirilis, “Sang Pemimpi” yang merupakan sekuel “Laskar Pelangi” begitu riuh ramai dibicarakan orang. Dibumbui vokalis ganteng “Nazriel Ilham”, gemanya semakin berkumandang lantang. Jadi, wajar rasanya kalau saya ikut penasaran. Menoleh ke belakang, saya sangat terpukau dengan film terdahulunya “Laskar Pelangi” (selanjutnya disingkat LP). Lebih dari sepuluh kali menonton, aura dan nuansanya tetap sama seperti baru pertama kali menonton. Kalau dikira-kira, air mata yang tergenang, dahi yang mengkerut, lebarnya mata melotot, menyipit, debaran ketenangan, ketegangan, dan tawa yang terbahak seolah nyaris sama banyak. Hanya saja, di film yang merupakan hasil ekranisasi tersebut, tokoh utama jadi bias karena tiga anggota LP di garda terdepan sama-sama menonjol (Lintang, Ikal, dan Mahar).

Jadi, ceritanya di suatu hari tersebut, saya dan keluarga secara sengaja memanfaatkan waktu luang untuk menonton. Keluarga kami sangat jatuh cinta dengan LP, maka ketika “adiknya” lahir, otomatis kami ingin tahu bagaimana parasnya. Di sebuah bioskop ternama, dengan harga weekend kami berenam tiba di salah satu mall yang terletak di kota hujan. Tepat 11.45, empat pasang kaki dewasa dan dua pasang kaki anak-anak ini tiba di tempat yang dituju. Memilih tempat duduk, lalu membayar karcis, ya.... harga weekend, totalnya Rp.90.000. Kemudian buru-buru masuk studio 1 setelah sebelumnya juga buru-buru jajan roti karena kelaparan. Film sudah dimulai beberapa menit yang lalu, saya di depan tergopoh-gopoh mencari tempat duduk seat J dalam kegulitaan. Berhasil. enam buah sofa merah lalu kami duduki satu per satu.

Mata berbinar campur senang. Itulah perasan saya di awal menonton. Sayang, kebinaran dan kesenangan tersebut juga buru-buru disulap jadi kepenatan. Mengapa? Mari saya uraikan.
1) Alurnya campur (mundur-maju)
Pemilihan alur ini memang sepenuhnya menjadi hak para penggarap film. Akan tetapi, alangkah baiknya jikalau film “semua umur” bisa ditonton dengan alur maju yang rapi dan tidak membosankan.
2) Setting waktunya over dosis
Bukan cuma pecandu narkoba yang bisa over dosis, film juga bisa over dosis jika apa yang dimuatnya terlalu kelebihan beban. Merupakan film lanjutan, memang butuh “ramuan” khusus menggarap setting waktu. Apakah akan turut serta menggendong setting waktu film yang lalu atau mengabaikannya? Di SP, setting waktu sangat berjibun. Diawali dengan masa ketika Ikal tengah tinggal di Bogor, dilanjutkan dengan saat Ikal menjemput Arai, masa kecil mereka, masa remaja, masa lalu Ikal dan ayahnya di PN Timah, kembali lagi ke masa remaja, kemudian berlanjut ke masa saat Ikal dan Arai tiba di Jakarta hingga sampai ke Eropa. Benar-benar menguras tenaga untuk menguraikan waktunya. Penonton merasa diajak melompat-lompat seperti kodok, sambil bersuara “wrebek... wrebek....” Bisa juga diandaikan seperti memasuki pintu waktu Doraemon yang begitu banyak dalam satu waktu.
3) Tangga dramatik skenarionya tak sampai menapak
Seperti novel, di dalam ada semacam alur yang mengajak penonton menanjak-menanjak-mencapai titik teratas-menurun-menurun (ending). Inilah yang disebut tangga dramatik. Di awal film, penonton harusnya digiring menanjaki tangga satu perlahan untuk meraba jalan cerita, kemudian menanjak lagi dengan ritme yang agak cepat hingga tiba di titik teratas bagaimana konflik yang dramatik begitu memuncak. Usai itu penonton diajak menuruni tangga perlahan-lahan dalam dramatikal solusi hingga mencapai ending. Dan di SP, saya tidak merasa digiring untuk menaiki susunan tangga dramatiknya. Di awal-awal saja, saya merasa diajak berkejut-kejut untuk melompat, setelah itu datar hingga di akhir.
Pengenalan konflik memang ada di awal cerita, tapi setelahnya, konflik menjadi sangat heterogen dan solusinya dapat diketemukan dalam jangka waktu yang pendek. Sayang sekali.
4) Kaya akan pagar beton narasi
Seperti yang saya utarakan sebelumnya, film adalah sebuah karya yang sarat visualitas. Tanpa petunjuk-petunjuk berupa narasi pun, penonton akan dapat memahami apa yang ingin dituju penggarap film. Di film yang dilakoni oleh Lukman Sardi ini begitu kaya dengan narasi. Sebagai penonton, dada saya serasa sesak karena setiap langkah dan nafas saya secara ketat dipagari beton-beton narasi yang sebenarnya tidak perlu.
5) Tokoh yang tidak “tokoh”
Saya tidak tahu bagaimana jalannya casting. Apakah dengan metode yang sama dengan LP (merekrut bocah asli Belitong)? Di luar metode casting, saya merasa tokoh dalam film ini bermain tidak dengan jiwa. Tokoh Jimbron misalnya, yang merupakan kawan Ikal yang bicaranya gagap karena trauma ditinggal oleh kedua orang tuanya, belum sangat total menjadi gagap. Tokoh Ikal juga belum menjadi Ikal ketika sedih dan bahagia, mimiknya tampak tak berbanding ketika sedih dan bahagia.
Selain hal-hal tersebut, saya juga merasa ada satu kejanggalan dalam hal musik. Ada satu musik yang dipertahankan (musik LP yang digunakan kembali di SP) tanpa pembaruan, lagu melayu sangat kaya dalam cerita, sedangkan sountrack yang menjadi tanda musikal (penguat makna) sangat minimalis sekali.

***
Mengubah bentuk dari karya sastra menjadi film (ekranisasi) memang bukan hal yang mudah. Banyak rumus dan konsep yang harus disejalankan. Sementara, kita juga tahu, antara karya sastra dan film adalah dua wajah yang berbeda. Karya sastra merupakan kumpulan kata-kata. Segala hal yang terkandung di dalamnya, benar-benar disampaikan oleh lukisan kata. Sangat berbeda dengan film, yang begitu melimpah ruah dengan visualisasi. Simbol-simbol di dalam karya sastra akan selalu disampaikan melalui bahasa, dan di dalam film, simbol-simbol secara leluasa dapat disampaikan dengan visualisasi.

Sebagai media rekam, film menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia (Garsies dalam Madiyant, 163: 2003). Hal itu memang tidak salah lagi, penggambaran setting waktu antara “pagi”, “siang”, “sore”, dan “malam”, di dalam film dapat divisualisasikan melalui gambar-gambar figuratif alam yang memang “dikenali” oleh manusia. Sementara itu, di dalam karya sastra, penggambaran hal tersebut harus secara jelas dan identik dengan yang dikenali manusia melalui bahasa.

Akhirnya, dengan berat hati saya tuliskan perasaan ini, bahwa saya merasa tidak terpuaskan menonton SP. Gemuruhnya yang berdengung-dengung seakan jadi kapas yang hampa setelah saya menontonnya. Uang tunai yang dibayarkan membeli karcis, seakan-akan hanya sebagai penuntas kepenasaran saja. Merogoh kocek 90.000 demi menonton Sang Pemimpi juga rasanya menjadi sia-sia. Unsur keterhiburan hanya secuil terpenuhi, mata menjadi mengantuk, dan perut keroncongan. Kalau sudah begini, inginnya masuk pintu waktu Doraemon agar mengulangi waktu, biar 90.000 ribu itu dipakai saja untuk karaokean. *ting! Tapi, setidaknya cukup juga berguna sebagai lahan pemahaman untuk sekadar nimbrung obrolan tentang film ini dengan teman sekawan. Jadi, jika ada sesorang bertanya, "Udah nonton Sang Pemimpi belum?", dengan leluasa saya akan menjawab, "Udah dong!". :D

Sabtu, 26 Desember 2009

Sama halnya dengan kebudayaan, sastra pun mengenal tradisi. Dalam sastra, tradisi merupakan jalan bagi generasi sastra berikutnya. Seorang sastrawan, apapun genre yang ia anut tetap saja tak bisa lepas begitu saja dari sastrawan-sastrawan pendahulunya.

Mungkin ada celah antara tradisi sastra dan resepsi sastra. Sebagaimana resepsi sastra model Isser yang beranggapan bahwa ruang interpretasi selain diisi oleh imajinasi juga diisi oleh tradisi (Djojosuroto, 2005:50). Dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Teks Sastra


(harapan yang sistematis) <====> (ruang untuk interpretasi)

Tradisi Imajinasi Pembaca


Mari kita intip dan telaah puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Doa. Amir Hamzah yang merupakan Raja Penyair Pujangga Baru pun pernah menulis puisi dengan judul yang sama.
Chairil Anwar
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
DalamTermangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Lalu bagaimana dengan puisi Amir Hamzah dibawah ini?

Amir Hamzah
DOA

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan pana payah
terik.
Angin malam menembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa
menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan
kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan
cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
gelakku rayu!

Amir Hamzah yang hidup sebelum angkatan ’45 muncul, tentunya lebih dahulu menulis puisi yang berjudul Doa. Jika dianalisis, kita bisa melihat persamaan komposisi diksi yang digunakan oleh kedua penyair. Bukan hanya dalam hal judul tentunya yang sama. Kita bisa melihat dimana diksi seperti lilin dan cahaya digunakan oleh kedua penyair dengan cara yang berbeda. Jika Chairil Anwar memilih lilin sebagai bentuk deskripsi dari kesunyian yang hanya ditemani kerdip lilin, Amir Hamzah menggunakan lilin sebagai deskripsi keterangan hati. Begitupun dengan cahaya, Amir menuliskan cahaya dengan kalimat harapan (penuhi dadaku dengan cahayamu), berbeda dengan Chairil yang memendekkan kata cahaya menjadi caya.
Persamaannya tidak sampai disitu, ada pendekatan emosi pelaku sendiri dalam kedua puisi tersebut. Emosi ini terpancing oleh kejadian-kejadian dalam hidup sang penyair. Bedanya, Amir Hamzah seolah mengalami ketenangan jiwa ketika bertemu dengan “kekasihnya”, sedangkan Chairil Anwar seolah dalam keadaan terpuruk dan memohon petunjuk Tuhan.

Ada persamaan, juga ada perbedaan. Karena menurut T.S. Eliot akan ada perubahan tatanan dari tradisi, baik seluruhnya, sedikit, demikian pula hubungan-hubungan, proporsi dan nilai yang disesuaikan. Contohnya saja dari segi isi, ada sebuah tujuan yang sedikit berbeda dituliskan oleh kedua penyair ini. Jika Chairil menuliskan puisinya secara lugas tertuju pada tuhan, Amir Hamzah sedikit membunyikan untuk siapa puisi tersebut? Amir sama sekali tidak menuliskan kata “Tuhan”, tapi ia menuliskan kata “kekasih” sebagai pengganti kata “Tuhan”.

Namun jika melihat komposisi puisi secara keseluruhan, baik judul dan diksi, ada pemaknaan yang nyaris sama. Dalam bait pertamanya, Chairil Anwar menulis Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu. Artinya disitu tersirat sebuah permohonan kepada Tuhan. Lalu kita lihat puisi Amir Hamzah pada bait terakhir, Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan/cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar/gelakku rayu! Ini juga memiliki pemaknaan yang hampir sama, yakni sebuah permohonan kepada Tuhan.

Pada Chairil Anwar, jika boleh disebut keunggulannya tatkala ia menggabungkan imajinasinya yang dibangun dari diksi “Doa” itu, ia menampilkan doa sebagai doa yang benar-benar doa ketika ia sedang kesulitan. Adalah benar jika kedua sajak tersebut mempunyai kesamaan, yakni berpokok pada Doa, tapi keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar, sehubungan dengan kondisi emosi penyair sebagai pelaku. Jika Chairil menuliskannya dengan penggambaran kondisi yang lemah, maka Amir Hamzah menuliskannya dengan sebuah penggambaran kondisi jiwa yang tenang.
Jadi, kedua sajak itu mempunyai makna yang khas sendiri-sendiri. Walaupun kesamaan makna dan tujuan, apabila ditelusuri secara lebih mendalam lagi, akan ditemukan segudang makna yang sebelumnya belum ditemukan.

Pertanyaannya, apakah ada unsur tradisi pada puisi Doa karya Chairil Anwar? Dan puisi doa karya Amir Hamzahlah yang dijadikan sumber tradisi tersebut? Jawabannya ada. Benar apa yang dituliskan T.S. Eliot tadi bahwa akan ada perubahan tatanan dari tradisi, baik seluruhnya, sedikit, demikian pula hubungan-hubungan, proporsi dan nilai disesuaikan. Meski dengan judul puisi serta beberapa diksi yang sama, Doa versi Chairil Anwar memiliki beberapa perbedaan.

Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, tentu unsur tradisi tersirat di dalamnya, meski ada penyesuain-penyesuaian yang menghasilkan beberapa perbedaan.

AMAZING!


“Cinta adalah ketika ia bersemi dalam hati
Terkembang dalam kata…”


Sepenggal kata-kata tersebut saya terima dari seorang Holid. Kertas putih kosong yang baru saja saya berikan kepadanya beberapa menit yang lalu, telah terisi rangkaian kata-kata puitis. “AMAZING”, hebat, dahsyat, saya terpukau, saya terharu, sungguh. Anak seusia Holid yang notabene mesti hidup di hotel prodeo, bersemangat dan mampu merangkai kata-kata sepuitis itu.
Yang ditulis Holid bukan hanya sebuah puisi, ia juga menulis puisi-puisi lain di atas selembar kertas yang ia mintai kepada saya ketika puisi pertamanya rampung. “Wahai ukhti, engkaulah lapaz-lapaz hati….”, sampai di sini saya tak mampu bercakap lagi.
Keamazingan bukan hanya ditunjukkan Holid, tapi semua, seluruh siswa kelas musik Rumah Tahanan (Rutan) Anak Kebon Waru. Mereka semua sangat bersemangat ketika saya persilakan memperkenalkan diri tanpa bersuara. Mereka berekspresi, menelurkan langkah yang merupakan representasi dari sebuah ide yang cemerlang. Ada Toni yang memperkenalkan namanya lewat sebuah sobekan kertas yang ia tulisi “TONI”, ada Angga yang menggerakkan jemari tangannya menggambarkan rangkaian huruf yang menjadi pondasi nama besar yang disandangnya sedari kecil, dan ada pula Agus yang dengan manyun-manyun menggerakkan mulutnya, berusaha dengan susah payah untuk memberitahukan namanya pada kami. Cerdas.
Apa yang saya lihat dan rasakan saat baru beberapa menit berkomunikasi langsung dengan mereka, kontan memupus apa yang saya bayangkan sebelumnya. Dalam pikiran saya yang masih hampa, beberapa minggu bahkan di depan pintu rutan hari Kamis itu, yang saya bayangkan mereka adalah anak-anak yang nakal, menyebalkan, sulit diatur, dan menyeramkan karena badannya dipenuhi tatoo bak preman terminal. Ya, meskipun ada beberapa orang dari mereka bertato, tapi hati mereka, sikap mereka, sangat ramah. Hati mereka tak seperti apa yang saya bayangkan, mereka remaja yang bisa bertutur lembut, baik bertutur lisan maupun tulisan. Buktinya, Holid, Agus, Aditya, Kiki, Heri, Oky, Agus, dan Santana, adalah anak-anak yang mau belajar merangkaikan kata-kata halus, menguraikan apa yang mereka pikirkan.
Ini Amazing, sungguh di luar apa yang saya pikirkan. Saya berterimakasih kepada mereka. Anak-anak yang walaupun berwajah kusam dan kumal, mau dan semangat untuk belajar menulis.
Sebelum kelas usai, kami membentuk lingkaran tak beraturan, menyanyi bersama, dari lagu pop jaman jadul, hingga dangdut masa kini. Agus yang terbilang paling cucok di antara mereka, lihai memainkan si alat petik. Semua pun bernyanyi.
Pukul 12 siang, kelas usai, seorang Holid mendekati saya,
“Teh, boleh minta kertas nggak?”
“ Buat apa?”, jawab saya
“Pengen nulis puisi, tapi buat di sel, entar hari Kamis, aku kasih ke Teteh puisinya. Ingin seperti Pramoedya Ananta Toer”.
Ahh… rupanya anak-anak itu telah banyak belajar tentang kehidupan. Di balik segala keterbatasan, mereka masih mau berusaha untuk menulis, untuk belajar, untuk berkarya. Yang mungkin berbeda dengan kita, di balik segala kesempatan dan kemudahan, kita lantas bermalas-malasan dan tidak pernah banyak berpikir tentang arti hidup. Sungguh, mereka, amazing.

Bandung, Maret 2009

Congklak dan Bekel : Pelajaran Menabung

Cingciripit katulang bajing
Saha nu kacapit eta ucing ....

Mungkin sebagian besar dari Anda yang lahir sebelum tahun 1990-an, kalimat di atas bukan merupakan hal yang asing. Kalimat berbahasa Sunda tersebut digunakan oleh anak-anak ketika akan memulai sebuah permainan tradisional berjenis kompetisi, entah itu Boy-Boyan, Ucing Sumput, atau nama permainan lainnya. Sayang, kalimat tersebut telah jarang didengungkan seraya tergantikannya permainan tradisional dengan permainan modern. Anak-anak jaman sekarang lebih gemar mengantre di rental Play Station, meluangkan waktu sebanyak-banyaknya untuk menjadi jagoan di arena layar. Telinganya mungkin sama sekali tidak pernah mendengar kalimat itu, apalagi melihat atau bahkan mempertunjukkannya secara langsung sebagaimana lumrahnya kita dulu: sebagai anak-anak. Padahal, jika diteliti, permainan anak tradisional memiliki nilai tinggi, yang membuatnya bukan sekadar permainan.
Marilah kita bernostalgia, tentu Anda ingat akan permainan tradisional Sunda berikut, Bekel (Beklen/bekles), Congklak, Dam-Daman, Boy-Boyan, Oray-Orayan, Sepdur/Slepdur, Karet, Gatrik, Sorodot Gaplok, Engkle/Pecle/Sondah/Sodlah, Perepet Jengkol, Raja-Ratu, dsb. Memang, jika dilihat secara sekilas, permainan yang saya sebutkan tadi hanya sebatas permainan. Akan tetapi, permainan tradisional Sunda memiliki makna yang tidak sedangkal itu. Banyak nilai-nilai yang terkandung di balik simbol-simbol kata yang membangun syair-syairnya atau bahkan konteks pertunjukkannya. Permainan tradisonal Sunda merupakan simbol, refleksi kondisi sosial, dan media pembelajaran bagi anak-anak.

BEKEL
Banyak sekali nama untuk menyebut permainan yang bermediakan biji kuwuk dan bola karet ini. Ada yang menyebutnya Bekel, Beklen, atau Bekles. Nama permainan ini berasal dari kata bèkel, yang dalam bahasa Sunda berari bekal. Permainan berjenis kompetisi ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan di waktu senggang. Pola permainannya bersaing dan bertingkat. Barang siapa yang terlebih dahulu mencapai tingkat tertinggi, dialah yang kelak menjadi sang juara.
Banyak nilai-nilai moral yang terkandung di dalam permainan ini. Seorang pemain akan meraup jumlah biji sesuai dengan tingkatannya (yang disebut dengan mi). Ketika mi hiji, maka ia akan meraup jumlah biji satu per satu, begitu seterusnya. Dibutuhkan teknik dan strategi yang jitu dalam memainkan permainan ini. Pemain tidak diperkenankan menyentuh barang sedikitpun biji yang tidak akan diraup, ia juga tidak diperbolehkan meraup kurang atau lebih dari jumlah biji yang disesuaikan dengan tahapan mi.
Melalui hal itulah Bekel mengajarkan nilai-nilai moral sedari dini kepada anak-anak, bahwa hendaknya dalam hidup di bumi ini manusia hendaknya merancang kehidupan agar selamat dan berbekal mapan untuk kehidupan selanjutnya. Tahapan-tahapan permainan Bekel, menunjukkan tahapan-tahapan hidup yang dilalui oleh manusia. Tahapan-tahapan tersebut semakin menanjak, apabila pemain menyusun telah berhasil melewati satu tahapan dengan upaya, strategi, dan cara yang jitu.

CONGKLAK
Bukan hanya Bekel, Congklak yang merupakan sebuah permainan bermedia papan berlubang tujuh dengan satu lubang indung yang juga beralatkan biji (kuwuk, dsb) mengandung nilai-nilai moral bagi anak-anak. Tujuh lubang pada papan permaian Congklak merupakan simbol hari dalam seminggu (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) yang digunakan sebagai waktu untuk membuka peluang, usaha, dan menuai hasil untuk penghidupan.
Sementara itu, lubang indung merupakan simbolisasi dari lumbung yang digunakan oleh masyarakat agraris. Di lubang indung itulah, manusia menyimpan apa yang telah dihasilkan dari pekerjaan yang telah mereka lakukan selama berhari-hari. Dari sana, tampaklah bahwa Congklak bukan sekadar permainan yang menggunakan media papan berlubang dengan biji-biji kuwuk sebagai alat permainan, melainkan sebagai sebuah pengajaran hidup untuk berusaha di setiap waktu dan kesempatan, serta menyimpannya untuk tabungan di hari mendatang.
***
Bekel dan Congklak merupakan dua permainan yang sama-sama mengajarkan bahwa dalam hidup kita harus berusaha, berjuang, dan senantiasa merancang kehidupan masa depan. kehidupan tidak akan berjalan lancar tanpa adanya hal-hal tersebut. papan diibaratkan sebagai ladang kehidupan, di mana manusia berkompetisi untuk bertahan hidup dan berusaha menghidupi dirinya sendiri. Bekel dan Congklak merupakan trepresentasi masyarakat Sunda lama dalam mengajarkan dan menanamkan arti hidup yang sebenar-benarnya.

Disneyfikasi Datang, Nilai Pun (Seolah) Hilang

“Terus Sangkuriangnya dipenjara nggak, bu?”
“Sangkuriang nggak dipenjara, tapi dia dihukum oleh ibunya”
“Oh, zaman dulu belum ada penjara ya, bu?
“Iya, tapi setiap ada yang melakukan kesalahan pasti dihukum. Eneng bobo sekarang ya, besok kita terusin lagi ceritanya.”


Itulah penggalan percakapan antara saya dan ibu saya, di suatu malam 17 Agustus 14 tahun lalu, hari di mana saya berulang tahun. Meskipun sudah menginjak usia tujuh tahun, tapi ritual dongeng sebelum tidur belum juga luntur. Lewat ritual itulah, saya berkenalan dengan Malin Kundang, Timun Mas dan Buto Ijo, Ciung Wanara, Bawang Merah dan Bawang Putih, juga Sangkuriang lewat lisan sang ibu.

Ya, tapi itu dulu, dulu sekali, dulu saat kumpulan ceritanya masih dikemas dalam lay out yang pas-pasan. Sekarang, adik-adik saya, tak perlu menunggu waktu tidur untuk berkenalan dengan para tokoh legenda nusantara tersebut. Mereka tinggal memegang remot sembari duduk manis di depan layar kaca yang sedang menyajikan gambar dari sebuah DVD atau VCD. Alhasil, wajah-wajah mereka pun muncul.

Memang tak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi akhirnya mau tidak mau menggiring manusianya untuk terus bertransformasi. Semua aspek digiring untuk melewati gerbang tranformasi, begitu pun cerita rakyat. Hingga akhirnya cerita rakyat hidup dalam beberapa bentuk, bentuk lisan, bentuk tulis, dan kini telah hadir cerita rakyat berwujud audio-visual.

Semestinya kita turut bersukacita, karena ketika budaya sastra lisan kian tergerus zaman, generasi-generasi muda masih bisa mengenal Sangkuriang dan kawan-kawan, melalui sebuah teknologi audio-visual dalam bentuk kepingan Cassette Disc (CD). Visualisasinya pun menarik, taman divisualisasikan dengan aneka burung yang berkicau dan bunga-bunga yang kian semerbak. Belum lagi dengan hadirnya lagu-lagu yang menjadi sondtrack. Singkat kata, anak-anak pun suka. Akan tetapi, bagaimana dengan esensi nilai yang dikandungnya? Masihkah cerita rakyat yang dikemas teknologi menyajikan nilai-nilai agung bagi penontonnya (baca:anak-anak)?

Jika ditelaah, cerita-cerita rakyat dalam VCD sarat pengaruh Disneyfikasi. Yang dimaksud Disneyfikasi di sini yakni proses pengadaptasian cerita rakyat versi asli untuk menjadi cerita dalam film animasi dengan menggunakan formula Disney yang tidak terlepas dari teori dekonstruksi. Menururt saya, dekonstruksi bisa saja halal, asalkan tidak serta merta mengubah kemudian mengikis habis nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat. Namun, yang justru terjadi adalah dekonstruksi yang malah melepaskan teks dari konteksnya. Hal tersebut pernah diungkapkan Jacques Derrida dalam teori dekonstruksinya.

Konsep-konsep yang terkandung dalam cerita rakyat yang notabene kaya akan nilai pendidikan, moral, dan budaya tersebut pun kabur. Ini pengalaman pribadi saya sesaat setelah menonton film animasi Sangkuriang dalam sebuah kelas Ekranisasi. Hanya satu tanggapan saya, lebai.

Kemasan cerita yang dulu saya tangkap dengan menarik, seakan menjadi garing layaknya gigi yang keropos, cerita rakyat seakan-akan diubah menjadi arena dramatisir. Bagaimana tidak, kedatangan sejumlah tokoh-tokoh baru serasa membuat jalan cerita menjadi pincang. Sebut saja, kehadiran kelinci dan ayam dalam film animasi Sangkuriang, atau hadirnya monyet dan burung dalam film animasi Malin Kundang. Kalau orang Sunda bilang, asa teu kudu kitu.

Ya, akhirnya memang saya percaya, bahwa formula disneyfikasi itulah yang akhirnya merubah esensi cerita rakyat yang sebenarnya. Mengapa? Karena formula Disney adalah formula yang mengedepankan nilai-nilai hiburan. Jadi, tak aneh jika film-film animasi hasil dekonstruksi cerita-cerita rakyat minim nilai moral, pendidikan, dan budaya. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap anak-anak yang notabene menjadi segmentasi pasarnya?

Disneyfikasi dalam film animasi cerita rakyat akan berpengaruh bagi penonton utamanya, anak-anak. Seperti telah dijelaskan di atas, karena adanya formula disney yang mengedepankan nilai hiburan, maka secara otomatis, nilai-nilai yang tadinya lahir untuk menjadi teladan bagi anak-anak, hilang. Ya, meskipun lagi-lagi tak bisa dimungkiri, kemasan audio visual yang menarik memang menjadi nilai lebih di sini.

Saya yakin, anak-anak tidak hanya mengunyah cerita dari film animasi saja. Dalam buku-buku pelajaran atau mungkin teks-teks cerita mereka pun menemukan cerita rakyat. Dan ketika cerita rakyat tersebut dikemas dalam bentuk film animasi yang telah terinfeksi pola Disney, saya yakin dahi mereka akan segera mengkerut, menopang dagu, dan berkata, “Kok gini sih?”.

Singkat kata, mereka dibingungkan oleh gaya penuturan cerita serta konteks yang tidak serupa dengan apa yang mereka lihat dalam versi asli. Kebingungan akhirnya menjadi jalan buntu bagi mereka, sehingga cerita rakyat yang terkonsep dalam pikiran mereka bukanlah cerita rakyat yang sarat akan nilai-nilai hidup, tetapi cerita rakyat yang hanya merupakan sarana hiburan. Itu saja.

Bukankah akan lebih baik, jika dekonsktruksi tradisi dalam hal ini cerita rakyat berjalan tanpa meninggalkan konteksnya? Dengan kata lain preservasi tradisi dibolehkan dengan syarat tidak terlalu banyak intervensi dan penyimpangan, tetapi tetap setia pada struktur dasar substansi (Bunanta). Sehingga, apapun bentuknya, cerita rakyat akan tetap menjadi sebuah kekayaan khazanah sastra Indonesia yang betul-betul kaya akan nilai-nilai hidup dan menjadi referensi keteladanan bagi anak-anak.


Sumber acuan:
- http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/jangan-peralat-cerita-rakyat.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi
- http://wahyumedia.com/Kabar-WahyuMedia/Info/Bentuk-Kepribadian-Anak-melalui-Cerita-Rakyat.html

Bandung, "ketika masih mengecap bangku mahasiswa".

SADe: Yang Renik, tapi Unik

“Ini dia, donat cokelat buatanku,”
“Aku juga mau buat, hmm... kue bulat!”


Percakapan itu terletus dari dua pasang bibir mungil di pelataran sebidang tanah bersaung-saung. Masing-masing dari mereka meremas-remas tanah merah yang digalinya sendiri. Sembari jongkok, tangan-tangan mungil itu membuat kreasi berbahan dasar tanah merah yang dipijaknya dengan sepasang sendal plastik. Sesekali, keduanya saling melempar bola-bola tanah ke bagian tubuh sejawatnya sembari terbahak lepas-lepas, menunjukkan gigi-gemiginya yang cemerlang.

Katakanlah, ini pengalaman yang benar-benar baru bagi saya. Ketika pertama kali menjejakkan kaki yang minim pengalaman ini di Jalan Bungsan No.80 Sawangan-Depok. Bukan aneh, heran, bingung, atau tercengang. Dalam diam yang menggebu saya benar-benar kaget terperanjat. Seketika itu saya langsung sadar, sekolah yang bernama Sekolah Alam Depok ini bukan sekolah seperti kebanyakan.

Di taman bermainnya (kalau bisa disebut demikian) banyak juga anak-anak bermain tanah merah yang agak basah bekas tertimpa hujan sore kemarin bersama sekawannya. Baju yang mereka kenakan, warnanya sudah tak keruan. Di bagian lutut, punggung, atau bahkan dada, terhias tanah merah basah yang mendinding pekat. Ketika hujan telah selesai mengguyur dengan derasnya, sebuah genangan air besar terbentuk di sebidang tanah yang landscape-nya agak memangkuk. Beberapa anak lelaki berlarian dan asik menceburkan diri di kedangkalannya. Basah dan cokelat.

Selain itu, ada pula segerombolan anak yang berebut memanjati pohon. Tidak perlu menyoalkan bahwa mereka adalah kaum Adam atau kaum Hawa. Toh mereka membaur, bersuka cita di atas pohon dan bergelantungan di rerantingnya ketika telah mencapai puncak ketinggiannya masing-masing. Ketangkasan, keceriaan, kekreatifan, dan keberanian mengambil risiko adalah pelajaran berharga yang dipupuk sedari dini dari dua aktifitas menyerukan di sekolah yang dibangun 22 April 3 tahun yang lalu ini. Melalui gerak lepas dan pengeluaran tenaga ekstra, secara tidak sadar mereka telah melatih motorik kasar mereka sendiri. Dan hebat! Sedikitpun tak terkumandang kalimat pelarangan terhadap aktifitas “kekotoran dan ketegangan” yang disengaja bocah-bocah ini.

Di bawah saung yang disulap menjadi kelas-kelas, kalimat pelarangan pun nyaris tak terdengar, seperti lirih saja ia dibawa menari-nari oleh angin. Hanya kata “boleh dan silakan” yang menggaung deras dari sudut-sudut kelas berlantai bilahan kayu ini. Bagi mereka yang telah menjalankan tugasnya dengan apik, kata “terimakasih” merupakan kado terbaik.

Tak sampai di sana, mata ini juga menyaksikan bagaimana SADe mengajak anak untuk belajar dan memupuk energi sosialitas terhadap sesamanya. Mereka dipersilakan untuk segera beristigfar ketika sadar dirinya melakukan kesalahan, mengingatkan kesalahan yang dilakukan sahabatnya, dan menyelesaikan masalahnya sendiri secepat mungkin tanpa mengadu pada tokoh yang di kelas mereka panggil Bapak atau Ibu.

Energi sosialitas begitu kental dari interaksi yang dijaring kuat di dalam kelas yang penuh dengan display khas. Pola kesejajaran sosial ditanamkan antara guru dan murid. Buktinya, tokoh yang di dalam kelas mereka panggil Bapak/Ibu itu, memanggil mereka dengan sapaan yang sangat bersahabat “teman”. Pola komunikasi ini menyiratkan bahwa bukan hanya murid saja yang dapat belajar secuil dari guru, tapi guru juga bisa belajar selaksa-laksa jumlahnya dari murid.

Nilai-nilai kelokalan juga dijunjung pada cara duduk. Mereka lebih banyak melakukan aktifitas dengan duduk di atas lantai kayu, daripada duduk di atas kursi plastik biru yang tersedia di kelas. Di setiap sesi doa yang dipanjat, pose tradisional dipasang tegap: tangan dilipat, kaki pun merapat. Ucap syukur dan harap terlantun deras dari bibir-bibir mereka.

Melihat hal-hal tersebut, saya seperti tersadar bahwa alam sesungguhnya adalah sumber ilmu yang tak terhingga dan tak habis-habisnya. Hal yang terpandang remeh temeh kerap kali tak terjangkau maknanya. Lihat, bagaimana mereka mengasah energi kreatif dan keberanian melalui kotornya genangan air hujan, tanah basah, dan reranting pohon. Kotor itu juga belajar, berani berkotor-kotor berarti wujud pelaksanaan nilai keberanian mereka untuk mengambil risiko terhadap sesuatu yang telah dikerjakan.

Konsep keterjalinan komunikasi antara guru dan murid juga hal yang luar biasa. Mereka seperti melakukan pola kesejajaran interaksi planet-planet dengan sumber energinya. Saling menghargai, saling mengingatkan, dan saling memanfaatkan. semua itu ternyata diajarkan oleh alam.

Bukankah kita juga ingat, bahwa beberapa teori-teori besar berinspirasi dari alam. Issac Newton contohnya. Mungkin ia tidak pernah mengira jika namanya bisa melambung tinggi lewat peristiwa “remeh”. Ketika duduk bersantai sembari mereguk teh hangat dengan sahabatnya William Stukeley di bawah rindangan pohon apel, ia melihat sebuah apel jatuh dari reranting batangnya yang melapuk, “pluk!”. Buah berwarna merah itu mendarat tepat di atas permukaan tanah, dan ilham besar itulah yang akhirnya melahirkan namanya sebagai pencetus teori gravitasi.

Apa yang dialami Newton tentu hanyalah sebagian kecil dari apa yang bisa dimanfaatkan manusia dari alam. Kalaupun setelah 200 tahun kemudian hingga saat ini teorinya agak tumbang karena ditemukannya sejumlah fenomena aneh gaya gerak benda di belahan dunia tertentu, inspirasi dan sumbernya tetap sama: alam. “Keremehan” yang dialami Newton bukanlah “keremehan” yang remeh temeh. Ia menyaksikan fenomena alam biasa namun menjamahnya dengan cara yang luar biasa.

Nilai keberanian, persilaan, dan penghargaan, juga merupakan hal luar biasa yang diwariskan alam, jika menjamahnya dengan kedalaman makna. Di sekolah berjuluk SADe inilah, nilai-nilai pewarisan alam tersebut ditanamkan. Lantas, mustahilkah sesuatu yang besar dapat terlahir di sini? Seperti Newton dengan pohon apelnya? Jawabnya, tidak mustahil!

Aktifitas bocah-bocah SADe yang saya angkat adalah hal yang renik, tapi unik. Namun bukankah yang berbukit-bukit itu adalah pengumpulan dari yang renik-renik?

Depok, Desember 2009

Senin, 23 November 2009

Tentang Lelaki

keluyuran memang menyenangkan. Banyak hal bisa didapat lewat keluyuran. Keluyuran juga bukan berarti hanya kaki saja yang berjalan lho, bibir juga ternyata bisa keluyuran. Haha, jangan bingung, ini cuma dramatisasi saya saja, ingin berkreasi membuahkan ungkapan. Meskipun maksa.

Yuu... Keluyuran. Samar-samar dilihat, kata ini sepertinya adalah kata jadian yang dilahirkan setelah imbuhan "ke-an" menempeli tubuh kata dasarnya. Kata dasarnya apa? luyur? Ah, whatever that. kita tidak sedang membicarakan etimologi. Kemarin, hampir seharian saya bersama seseorang yang selalu memanggil saya "de". keluyuran di kota hujan sambil petak umpet dengan hujan. Hmmm.... dari yang seharian itu, saya punya catatan tentang laki-laki:
1) selalu ingin memberi (meskipun kantong tidak berdaya secara ekonomi)
2) selalu mengatakan bahwa perempuan itu irasional dan menganggap bahwa laki-lakilah yang selalu berpikir logis
3) selalu ingin melindungi padahal dirinya juga saat itu penting untuk dilindungi
4) selalu sulit mengatakan isi hatinya

emhhh... jadi mentok gini tulisannya. selesai keluyuran itu, gue juga keluyuran bibir di rumah with my aunt. dia menggarisbawahi hal penting yang sepertinya wajib digarisbawahi oleh kita yang belum melepas kelajangan. katanya, jikalau sudah menikah, lelaki kerap kali tidak mengahomodir saran dan suara perempuan, meskipun perempuan itu adalah istrinya sendiri. Iya gitu?????