Sabtu, 26 Desember 2009

Disneyfikasi Datang, Nilai Pun (Seolah) Hilang

“Terus Sangkuriangnya dipenjara nggak, bu?”
“Sangkuriang nggak dipenjara, tapi dia dihukum oleh ibunya”
“Oh, zaman dulu belum ada penjara ya, bu?
“Iya, tapi setiap ada yang melakukan kesalahan pasti dihukum. Eneng bobo sekarang ya, besok kita terusin lagi ceritanya.”


Itulah penggalan percakapan antara saya dan ibu saya, di suatu malam 17 Agustus 14 tahun lalu, hari di mana saya berulang tahun. Meskipun sudah menginjak usia tujuh tahun, tapi ritual dongeng sebelum tidur belum juga luntur. Lewat ritual itulah, saya berkenalan dengan Malin Kundang, Timun Mas dan Buto Ijo, Ciung Wanara, Bawang Merah dan Bawang Putih, juga Sangkuriang lewat lisan sang ibu.

Ya, tapi itu dulu, dulu sekali, dulu saat kumpulan ceritanya masih dikemas dalam lay out yang pas-pasan. Sekarang, adik-adik saya, tak perlu menunggu waktu tidur untuk berkenalan dengan para tokoh legenda nusantara tersebut. Mereka tinggal memegang remot sembari duduk manis di depan layar kaca yang sedang menyajikan gambar dari sebuah DVD atau VCD. Alhasil, wajah-wajah mereka pun muncul.

Memang tak bisa dimungkiri, kemajuan teknologi akhirnya mau tidak mau menggiring manusianya untuk terus bertransformasi. Semua aspek digiring untuk melewati gerbang tranformasi, begitu pun cerita rakyat. Hingga akhirnya cerita rakyat hidup dalam beberapa bentuk, bentuk lisan, bentuk tulis, dan kini telah hadir cerita rakyat berwujud audio-visual.

Semestinya kita turut bersukacita, karena ketika budaya sastra lisan kian tergerus zaman, generasi-generasi muda masih bisa mengenal Sangkuriang dan kawan-kawan, melalui sebuah teknologi audio-visual dalam bentuk kepingan Cassette Disc (CD). Visualisasinya pun menarik, taman divisualisasikan dengan aneka burung yang berkicau dan bunga-bunga yang kian semerbak. Belum lagi dengan hadirnya lagu-lagu yang menjadi sondtrack. Singkat kata, anak-anak pun suka. Akan tetapi, bagaimana dengan esensi nilai yang dikandungnya? Masihkah cerita rakyat yang dikemas teknologi menyajikan nilai-nilai agung bagi penontonnya (baca:anak-anak)?

Jika ditelaah, cerita-cerita rakyat dalam VCD sarat pengaruh Disneyfikasi. Yang dimaksud Disneyfikasi di sini yakni proses pengadaptasian cerita rakyat versi asli untuk menjadi cerita dalam film animasi dengan menggunakan formula Disney yang tidak terlepas dari teori dekonstruksi. Menururt saya, dekonstruksi bisa saja halal, asalkan tidak serta merta mengubah kemudian mengikis habis nilai-nilai moral yang terkandung dalam cerita rakyat. Namun, yang justru terjadi adalah dekonstruksi yang malah melepaskan teks dari konteksnya. Hal tersebut pernah diungkapkan Jacques Derrida dalam teori dekonstruksinya.

Konsep-konsep yang terkandung dalam cerita rakyat yang notabene kaya akan nilai pendidikan, moral, dan budaya tersebut pun kabur. Ini pengalaman pribadi saya sesaat setelah menonton film animasi Sangkuriang dalam sebuah kelas Ekranisasi. Hanya satu tanggapan saya, lebai.

Kemasan cerita yang dulu saya tangkap dengan menarik, seakan menjadi garing layaknya gigi yang keropos, cerita rakyat seakan-akan diubah menjadi arena dramatisir. Bagaimana tidak, kedatangan sejumlah tokoh-tokoh baru serasa membuat jalan cerita menjadi pincang. Sebut saja, kehadiran kelinci dan ayam dalam film animasi Sangkuriang, atau hadirnya monyet dan burung dalam film animasi Malin Kundang. Kalau orang Sunda bilang, asa teu kudu kitu.

Ya, akhirnya memang saya percaya, bahwa formula disneyfikasi itulah yang akhirnya merubah esensi cerita rakyat yang sebenarnya. Mengapa? Karena formula Disney adalah formula yang mengedepankan nilai-nilai hiburan. Jadi, tak aneh jika film-film animasi hasil dekonstruksi cerita-cerita rakyat minim nilai moral, pendidikan, dan budaya. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap anak-anak yang notabene menjadi segmentasi pasarnya?

Disneyfikasi dalam film animasi cerita rakyat akan berpengaruh bagi penonton utamanya, anak-anak. Seperti telah dijelaskan di atas, karena adanya formula disney yang mengedepankan nilai hiburan, maka secara otomatis, nilai-nilai yang tadinya lahir untuk menjadi teladan bagi anak-anak, hilang. Ya, meskipun lagi-lagi tak bisa dimungkiri, kemasan audio visual yang menarik memang menjadi nilai lebih di sini.

Saya yakin, anak-anak tidak hanya mengunyah cerita dari film animasi saja. Dalam buku-buku pelajaran atau mungkin teks-teks cerita mereka pun menemukan cerita rakyat. Dan ketika cerita rakyat tersebut dikemas dalam bentuk film animasi yang telah terinfeksi pola Disney, saya yakin dahi mereka akan segera mengkerut, menopang dagu, dan berkata, “Kok gini sih?”.

Singkat kata, mereka dibingungkan oleh gaya penuturan cerita serta konteks yang tidak serupa dengan apa yang mereka lihat dalam versi asli. Kebingungan akhirnya menjadi jalan buntu bagi mereka, sehingga cerita rakyat yang terkonsep dalam pikiran mereka bukanlah cerita rakyat yang sarat akan nilai-nilai hidup, tetapi cerita rakyat yang hanya merupakan sarana hiburan. Itu saja.

Bukankah akan lebih baik, jika dekonsktruksi tradisi dalam hal ini cerita rakyat berjalan tanpa meninggalkan konteksnya? Dengan kata lain preservasi tradisi dibolehkan dengan syarat tidak terlalu banyak intervensi dan penyimpangan, tetapi tetap setia pada struktur dasar substansi (Bunanta). Sehingga, apapun bentuknya, cerita rakyat akan tetap menjadi sebuah kekayaan khazanah sastra Indonesia yang betul-betul kaya akan nilai-nilai hidup dan menjadi referensi keteladanan bagi anak-anak.


Sumber acuan:
- http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/jangan-peralat-cerita-rakyat.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi
- http://wahyumedia.com/Kabar-WahyuMedia/Info/Bentuk-Kepribadian-Anak-melalui-Cerita-Rakyat.html

Bandung, "ketika masih mengecap bangku mahasiswa".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar