Minggu, 27 Desember 2009

Menonton Sang Pemimpi: 90.000 yang (Tampak) Sia-Sia


Jauh sebelum dirilis, “Sang Pemimpi” yang merupakan sekuel “Laskar Pelangi” begitu riuh ramai dibicarakan orang. Dibumbui vokalis ganteng “Nazriel Ilham”, gemanya semakin berkumandang lantang. Jadi, wajar rasanya kalau saya ikut penasaran. Menoleh ke belakang, saya sangat terpukau dengan film terdahulunya “Laskar Pelangi” (selanjutnya disingkat LP). Lebih dari sepuluh kali menonton, aura dan nuansanya tetap sama seperti baru pertama kali menonton. Kalau dikira-kira, air mata yang tergenang, dahi yang mengkerut, lebarnya mata melotot, menyipit, debaran ketenangan, ketegangan, dan tawa yang terbahak seolah nyaris sama banyak. Hanya saja, di film yang merupakan hasil ekranisasi tersebut, tokoh utama jadi bias karena tiga anggota LP di garda terdepan sama-sama menonjol (Lintang, Ikal, dan Mahar).

Jadi, ceritanya di suatu hari tersebut, saya dan keluarga secara sengaja memanfaatkan waktu luang untuk menonton. Keluarga kami sangat jatuh cinta dengan LP, maka ketika “adiknya” lahir, otomatis kami ingin tahu bagaimana parasnya. Di sebuah bioskop ternama, dengan harga weekend kami berenam tiba di salah satu mall yang terletak di kota hujan. Tepat 11.45, empat pasang kaki dewasa dan dua pasang kaki anak-anak ini tiba di tempat yang dituju. Memilih tempat duduk, lalu membayar karcis, ya.... harga weekend, totalnya Rp.90.000. Kemudian buru-buru masuk studio 1 setelah sebelumnya juga buru-buru jajan roti karena kelaparan. Film sudah dimulai beberapa menit yang lalu, saya di depan tergopoh-gopoh mencari tempat duduk seat J dalam kegulitaan. Berhasil. enam buah sofa merah lalu kami duduki satu per satu.

Mata berbinar campur senang. Itulah perasan saya di awal menonton. Sayang, kebinaran dan kesenangan tersebut juga buru-buru disulap jadi kepenatan. Mengapa? Mari saya uraikan.
1) Alurnya campur (mundur-maju)
Pemilihan alur ini memang sepenuhnya menjadi hak para penggarap film. Akan tetapi, alangkah baiknya jikalau film “semua umur” bisa ditonton dengan alur maju yang rapi dan tidak membosankan.
2) Setting waktunya over dosis
Bukan cuma pecandu narkoba yang bisa over dosis, film juga bisa over dosis jika apa yang dimuatnya terlalu kelebihan beban. Merupakan film lanjutan, memang butuh “ramuan” khusus menggarap setting waktu. Apakah akan turut serta menggendong setting waktu film yang lalu atau mengabaikannya? Di SP, setting waktu sangat berjibun. Diawali dengan masa ketika Ikal tengah tinggal di Bogor, dilanjutkan dengan saat Ikal menjemput Arai, masa kecil mereka, masa remaja, masa lalu Ikal dan ayahnya di PN Timah, kembali lagi ke masa remaja, kemudian berlanjut ke masa saat Ikal dan Arai tiba di Jakarta hingga sampai ke Eropa. Benar-benar menguras tenaga untuk menguraikan waktunya. Penonton merasa diajak melompat-lompat seperti kodok, sambil bersuara “wrebek... wrebek....” Bisa juga diandaikan seperti memasuki pintu waktu Doraemon yang begitu banyak dalam satu waktu.
3) Tangga dramatik skenarionya tak sampai menapak
Seperti novel, di dalam ada semacam alur yang mengajak penonton menanjak-menanjak-mencapai titik teratas-menurun-menurun (ending). Inilah yang disebut tangga dramatik. Di awal film, penonton harusnya digiring menanjaki tangga satu perlahan untuk meraba jalan cerita, kemudian menanjak lagi dengan ritme yang agak cepat hingga tiba di titik teratas bagaimana konflik yang dramatik begitu memuncak. Usai itu penonton diajak menuruni tangga perlahan-lahan dalam dramatikal solusi hingga mencapai ending. Dan di SP, saya tidak merasa digiring untuk menaiki susunan tangga dramatiknya. Di awal-awal saja, saya merasa diajak berkejut-kejut untuk melompat, setelah itu datar hingga di akhir.
Pengenalan konflik memang ada di awal cerita, tapi setelahnya, konflik menjadi sangat heterogen dan solusinya dapat diketemukan dalam jangka waktu yang pendek. Sayang sekali.
4) Kaya akan pagar beton narasi
Seperti yang saya utarakan sebelumnya, film adalah sebuah karya yang sarat visualitas. Tanpa petunjuk-petunjuk berupa narasi pun, penonton akan dapat memahami apa yang ingin dituju penggarap film. Di film yang dilakoni oleh Lukman Sardi ini begitu kaya dengan narasi. Sebagai penonton, dada saya serasa sesak karena setiap langkah dan nafas saya secara ketat dipagari beton-beton narasi yang sebenarnya tidak perlu.
5) Tokoh yang tidak “tokoh”
Saya tidak tahu bagaimana jalannya casting. Apakah dengan metode yang sama dengan LP (merekrut bocah asli Belitong)? Di luar metode casting, saya merasa tokoh dalam film ini bermain tidak dengan jiwa. Tokoh Jimbron misalnya, yang merupakan kawan Ikal yang bicaranya gagap karena trauma ditinggal oleh kedua orang tuanya, belum sangat total menjadi gagap. Tokoh Ikal juga belum menjadi Ikal ketika sedih dan bahagia, mimiknya tampak tak berbanding ketika sedih dan bahagia.
Selain hal-hal tersebut, saya juga merasa ada satu kejanggalan dalam hal musik. Ada satu musik yang dipertahankan (musik LP yang digunakan kembali di SP) tanpa pembaruan, lagu melayu sangat kaya dalam cerita, sedangkan sountrack yang menjadi tanda musikal (penguat makna) sangat minimalis sekali.

***
Mengubah bentuk dari karya sastra menjadi film (ekranisasi) memang bukan hal yang mudah. Banyak rumus dan konsep yang harus disejalankan. Sementara, kita juga tahu, antara karya sastra dan film adalah dua wajah yang berbeda. Karya sastra merupakan kumpulan kata-kata. Segala hal yang terkandung di dalamnya, benar-benar disampaikan oleh lukisan kata. Sangat berbeda dengan film, yang begitu melimpah ruah dengan visualisasi. Simbol-simbol di dalam karya sastra akan selalu disampaikan melalui bahasa, dan di dalam film, simbol-simbol secara leluasa dapat disampaikan dengan visualisasi.

Sebagai media rekam, film menyajikan gambar figuratif dalam bentuk objek-objek fotografis yang dekat dengan kehidupan manusia (Garsies dalam Madiyant, 163: 2003). Hal itu memang tidak salah lagi, penggambaran setting waktu antara “pagi”, “siang”, “sore”, dan “malam”, di dalam film dapat divisualisasikan melalui gambar-gambar figuratif alam yang memang “dikenali” oleh manusia. Sementara itu, di dalam karya sastra, penggambaran hal tersebut harus secara jelas dan identik dengan yang dikenali manusia melalui bahasa.

Akhirnya, dengan berat hati saya tuliskan perasaan ini, bahwa saya merasa tidak terpuaskan menonton SP. Gemuruhnya yang berdengung-dengung seakan jadi kapas yang hampa setelah saya menontonnya. Uang tunai yang dibayarkan membeli karcis, seakan-akan hanya sebagai penuntas kepenasaran saja. Merogoh kocek 90.000 demi menonton Sang Pemimpi juga rasanya menjadi sia-sia. Unsur keterhiburan hanya secuil terpenuhi, mata menjadi mengantuk, dan perut keroncongan. Kalau sudah begini, inginnya masuk pintu waktu Doraemon agar mengulangi waktu, biar 90.000 ribu itu dipakai saja untuk karaokean. *ting! Tapi, setidaknya cukup juga berguna sebagai lahan pemahaman untuk sekadar nimbrung obrolan tentang film ini dengan teman sekawan. Jadi, jika ada sesorang bertanya, "Udah nonton Sang Pemimpi belum?", dengan leluasa saya akan menjawab, "Udah dong!". :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar