Sabtu, 26 Desember 2009

Sama halnya dengan kebudayaan, sastra pun mengenal tradisi. Dalam sastra, tradisi merupakan jalan bagi generasi sastra berikutnya. Seorang sastrawan, apapun genre yang ia anut tetap saja tak bisa lepas begitu saja dari sastrawan-sastrawan pendahulunya.

Mungkin ada celah antara tradisi sastra dan resepsi sastra. Sebagaimana resepsi sastra model Isser yang beranggapan bahwa ruang interpretasi selain diisi oleh imajinasi juga diisi oleh tradisi (Djojosuroto, 2005:50). Dapat dilihat pada skema dibawah ini:

Teks Sastra


(harapan yang sistematis) <====> (ruang untuk interpretasi)

Tradisi Imajinasi Pembaca


Mari kita intip dan telaah puisi karya Chairil Anwar yang berjudul Doa. Amir Hamzah yang merupakan Raja Penyair Pujangga Baru pun pernah menulis puisi dengan judul yang sama.
Chairil Anwar
Doa
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
DalamTermangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Lalu bagaimana dengan puisi Amir Hamzah dibawah ini?

Amir Hamzah
DOA

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan pana payah
terik.
Angin malam menembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa
menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyiarkan
kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan
cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar
gelakku rayu!

Amir Hamzah yang hidup sebelum angkatan ’45 muncul, tentunya lebih dahulu menulis puisi yang berjudul Doa. Jika dianalisis, kita bisa melihat persamaan komposisi diksi yang digunakan oleh kedua penyair. Bukan hanya dalam hal judul tentunya yang sama. Kita bisa melihat dimana diksi seperti lilin dan cahaya digunakan oleh kedua penyair dengan cara yang berbeda. Jika Chairil Anwar memilih lilin sebagai bentuk deskripsi dari kesunyian yang hanya ditemani kerdip lilin, Amir Hamzah menggunakan lilin sebagai deskripsi keterangan hati. Begitupun dengan cahaya, Amir menuliskan cahaya dengan kalimat harapan (penuhi dadaku dengan cahayamu), berbeda dengan Chairil yang memendekkan kata cahaya menjadi caya.
Persamaannya tidak sampai disitu, ada pendekatan emosi pelaku sendiri dalam kedua puisi tersebut. Emosi ini terpancing oleh kejadian-kejadian dalam hidup sang penyair. Bedanya, Amir Hamzah seolah mengalami ketenangan jiwa ketika bertemu dengan “kekasihnya”, sedangkan Chairil Anwar seolah dalam keadaan terpuruk dan memohon petunjuk Tuhan.

Ada persamaan, juga ada perbedaan. Karena menurut T.S. Eliot akan ada perubahan tatanan dari tradisi, baik seluruhnya, sedikit, demikian pula hubungan-hubungan, proporsi dan nilai yang disesuaikan. Contohnya saja dari segi isi, ada sebuah tujuan yang sedikit berbeda dituliskan oleh kedua penyair ini. Jika Chairil menuliskan puisinya secara lugas tertuju pada tuhan, Amir Hamzah sedikit membunyikan untuk siapa puisi tersebut? Amir sama sekali tidak menuliskan kata “Tuhan”, tapi ia menuliskan kata “kekasih” sebagai pengganti kata “Tuhan”.

Namun jika melihat komposisi puisi secara keseluruhan, baik judul dan diksi, ada pemaknaan yang nyaris sama. Dalam bait pertamanya, Chairil Anwar menulis Tuhanku/Dalam termangu/Aku masih menyebut namaMu. Artinya disitu tersirat sebuah permohonan kepada Tuhan. Lalu kita lihat puisi Amir Hamzah pada bait terakhir, Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan/cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar/gelakku rayu! Ini juga memiliki pemaknaan yang hampir sama, yakni sebuah permohonan kepada Tuhan.

Pada Chairil Anwar, jika boleh disebut keunggulannya tatkala ia menggabungkan imajinasinya yang dibangun dari diksi “Doa” itu, ia menampilkan doa sebagai doa yang benar-benar doa ketika ia sedang kesulitan. Adalah benar jika kedua sajak tersebut mempunyai kesamaan, yakni berpokok pada Doa, tapi keduanya juga memiliki perbedaan yang sangat mendasar, sehubungan dengan kondisi emosi penyair sebagai pelaku. Jika Chairil menuliskannya dengan penggambaran kondisi yang lemah, maka Amir Hamzah menuliskannya dengan sebuah penggambaran kondisi jiwa yang tenang.
Jadi, kedua sajak itu mempunyai makna yang khas sendiri-sendiri. Walaupun kesamaan makna dan tujuan, apabila ditelusuri secara lebih mendalam lagi, akan ditemukan segudang makna yang sebelumnya belum ditemukan.

Pertanyaannya, apakah ada unsur tradisi pada puisi Doa karya Chairil Anwar? Dan puisi doa karya Amir Hamzahlah yang dijadikan sumber tradisi tersebut? Jawabannya ada. Benar apa yang dituliskan T.S. Eliot tadi bahwa akan ada perubahan tatanan dari tradisi, baik seluruhnya, sedikit, demikian pula hubungan-hubungan, proporsi dan nilai disesuaikan. Meski dengan judul puisi serta beberapa diksi yang sama, Doa versi Chairil Anwar memiliki beberapa perbedaan.

Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, tentu unsur tradisi tersirat di dalamnya, meski ada penyesuain-penyesuaian yang menghasilkan beberapa perbedaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar