Sabtu, 26 Desember 2009

SADe: Yang Renik, tapi Unik

“Ini dia, donat cokelat buatanku,”
“Aku juga mau buat, hmm... kue bulat!”


Percakapan itu terletus dari dua pasang bibir mungil di pelataran sebidang tanah bersaung-saung. Masing-masing dari mereka meremas-remas tanah merah yang digalinya sendiri. Sembari jongkok, tangan-tangan mungil itu membuat kreasi berbahan dasar tanah merah yang dipijaknya dengan sepasang sendal plastik. Sesekali, keduanya saling melempar bola-bola tanah ke bagian tubuh sejawatnya sembari terbahak lepas-lepas, menunjukkan gigi-gemiginya yang cemerlang.

Katakanlah, ini pengalaman yang benar-benar baru bagi saya. Ketika pertama kali menjejakkan kaki yang minim pengalaman ini di Jalan Bungsan No.80 Sawangan-Depok. Bukan aneh, heran, bingung, atau tercengang. Dalam diam yang menggebu saya benar-benar kaget terperanjat. Seketika itu saya langsung sadar, sekolah yang bernama Sekolah Alam Depok ini bukan sekolah seperti kebanyakan.

Di taman bermainnya (kalau bisa disebut demikian) banyak juga anak-anak bermain tanah merah yang agak basah bekas tertimpa hujan sore kemarin bersama sekawannya. Baju yang mereka kenakan, warnanya sudah tak keruan. Di bagian lutut, punggung, atau bahkan dada, terhias tanah merah basah yang mendinding pekat. Ketika hujan telah selesai mengguyur dengan derasnya, sebuah genangan air besar terbentuk di sebidang tanah yang landscape-nya agak memangkuk. Beberapa anak lelaki berlarian dan asik menceburkan diri di kedangkalannya. Basah dan cokelat.

Selain itu, ada pula segerombolan anak yang berebut memanjati pohon. Tidak perlu menyoalkan bahwa mereka adalah kaum Adam atau kaum Hawa. Toh mereka membaur, bersuka cita di atas pohon dan bergelantungan di rerantingnya ketika telah mencapai puncak ketinggiannya masing-masing. Ketangkasan, keceriaan, kekreatifan, dan keberanian mengambil risiko adalah pelajaran berharga yang dipupuk sedari dini dari dua aktifitas menyerukan di sekolah yang dibangun 22 April 3 tahun yang lalu ini. Melalui gerak lepas dan pengeluaran tenaga ekstra, secara tidak sadar mereka telah melatih motorik kasar mereka sendiri. Dan hebat! Sedikitpun tak terkumandang kalimat pelarangan terhadap aktifitas “kekotoran dan ketegangan” yang disengaja bocah-bocah ini.

Di bawah saung yang disulap menjadi kelas-kelas, kalimat pelarangan pun nyaris tak terdengar, seperti lirih saja ia dibawa menari-nari oleh angin. Hanya kata “boleh dan silakan” yang menggaung deras dari sudut-sudut kelas berlantai bilahan kayu ini. Bagi mereka yang telah menjalankan tugasnya dengan apik, kata “terimakasih” merupakan kado terbaik.

Tak sampai di sana, mata ini juga menyaksikan bagaimana SADe mengajak anak untuk belajar dan memupuk energi sosialitas terhadap sesamanya. Mereka dipersilakan untuk segera beristigfar ketika sadar dirinya melakukan kesalahan, mengingatkan kesalahan yang dilakukan sahabatnya, dan menyelesaikan masalahnya sendiri secepat mungkin tanpa mengadu pada tokoh yang di kelas mereka panggil Bapak atau Ibu.

Energi sosialitas begitu kental dari interaksi yang dijaring kuat di dalam kelas yang penuh dengan display khas. Pola kesejajaran sosial ditanamkan antara guru dan murid. Buktinya, tokoh yang di dalam kelas mereka panggil Bapak/Ibu itu, memanggil mereka dengan sapaan yang sangat bersahabat “teman”. Pola komunikasi ini menyiratkan bahwa bukan hanya murid saja yang dapat belajar secuil dari guru, tapi guru juga bisa belajar selaksa-laksa jumlahnya dari murid.

Nilai-nilai kelokalan juga dijunjung pada cara duduk. Mereka lebih banyak melakukan aktifitas dengan duduk di atas lantai kayu, daripada duduk di atas kursi plastik biru yang tersedia di kelas. Di setiap sesi doa yang dipanjat, pose tradisional dipasang tegap: tangan dilipat, kaki pun merapat. Ucap syukur dan harap terlantun deras dari bibir-bibir mereka.

Melihat hal-hal tersebut, saya seperti tersadar bahwa alam sesungguhnya adalah sumber ilmu yang tak terhingga dan tak habis-habisnya. Hal yang terpandang remeh temeh kerap kali tak terjangkau maknanya. Lihat, bagaimana mereka mengasah energi kreatif dan keberanian melalui kotornya genangan air hujan, tanah basah, dan reranting pohon. Kotor itu juga belajar, berani berkotor-kotor berarti wujud pelaksanaan nilai keberanian mereka untuk mengambil risiko terhadap sesuatu yang telah dikerjakan.

Konsep keterjalinan komunikasi antara guru dan murid juga hal yang luar biasa. Mereka seperti melakukan pola kesejajaran interaksi planet-planet dengan sumber energinya. Saling menghargai, saling mengingatkan, dan saling memanfaatkan. semua itu ternyata diajarkan oleh alam.

Bukankah kita juga ingat, bahwa beberapa teori-teori besar berinspirasi dari alam. Issac Newton contohnya. Mungkin ia tidak pernah mengira jika namanya bisa melambung tinggi lewat peristiwa “remeh”. Ketika duduk bersantai sembari mereguk teh hangat dengan sahabatnya William Stukeley di bawah rindangan pohon apel, ia melihat sebuah apel jatuh dari reranting batangnya yang melapuk, “pluk!”. Buah berwarna merah itu mendarat tepat di atas permukaan tanah, dan ilham besar itulah yang akhirnya melahirkan namanya sebagai pencetus teori gravitasi.

Apa yang dialami Newton tentu hanyalah sebagian kecil dari apa yang bisa dimanfaatkan manusia dari alam. Kalaupun setelah 200 tahun kemudian hingga saat ini teorinya agak tumbang karena ditemukannya sejumlah fenomena aneh gaya gerak benda di belahan dunia tertentu, inspirasi dan sumbernya tetap sama: alam. “Keremehan” yang dialami Newton bukanlah “keremehan” yang remeh temeh. Ia menyaksikan fenomena alam biasa namun menjamahnya dengan cara yang luar biasa.

Nilai keberanian, persilaan, dan penghargaan, juga merupakan hal luar biasa yang diwariskan alam, jika menjamahnya dengan kedalaman makna. Di sekolah berjuluk SADe inilah, nilai-nilai pewarisan alam tersebut ditanamkan. Lantas, mustahilkah sesuatu yang besar dapat terlahir di sini? Seperti Newton dengan pohon apelnya? Jawabnya, tidak mustahil!

Aktifitas bocah-bocah SADe yang saya angkat adalah hal yang renik, tapi unik. Namun bukankah yang berbukit-bukit itu adalah pengumpulan dari yang renik-renik?

Depok, Desember 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar